Lalu ia berkata: ”Yesus, ingatlah aku, apabila Engkau datang sebagai Raja” (Lukas 23:42)
Yesus di salib. Penampilan-Nya saat itu betul-betul tak menjanjikan. Saat itu kondisi-Nya lebih mirip seorang pesakitan. Saat itu, mungkin tidak ada satupun manusia yang melihat bahwa pribadi yang digantung itu adalah seorang Juru Selamat.
Penampilan-Nya jauh dari itu. Tergantung di kayu salib, bukan saja dengan kondisi fisik-Nya yang begitu buruk dan mengerikan, tapi juga disertai ejekan, olok-olok, dan hujatan pun menimpa-Nya secara bertubi-tubi.
Penampilan-Nya jauh dari itu. Tergantung di kayu salib, bukan saja dengan kondisi fisik-Nya yang begitu buruk dan mengerikan, tapi juga disertai ejekan, olok-olok, dan hujatan pun menimpa-Nya secara bertubi-tubi.
Sang penjahat disamping-Nya juga sedang menanggung penderitaan yang sama - penyaliban. Penyaliban diakui sebagai bentuk hukuman mati yang paling keji dan paling menyiksa. Kesengsaraan yang diakibatkannya berlangsung secara pelan, tetapi pasti. Penderitaannya seakan tidak berujung. Seseorang pernah menulis, “Dalam keadaan seperti itu, Anda cuma bisa berdoa atau mengutuk.”
Akan tetapi, si penjahat memilih untuk mengamati Si Terhukum di sebelahnya, mencerna pembicaraan orang tentang-Nya, dan membantah hujatan penjahat lain terhadap-Nya. Dan, akhirnya ia pun sampai pada pengakuan bahwa Si Terhukum ini sejatinya adalah Sang Raja! Apakah Anda akan mengatakan bahwa itu keputusan yang diambil secara gampang dan “enak”?
Pertobatan, dari sudut pandang manusia, tidak pernah enak. Itu berarti meninggalkan keinginan egois agar kita dapat menyambut kehendak Tuhan. Siapa yang melakukannya, tanpa harus mati dulu seperti si penjahat, maka ia akan menemukan Firdaus—lambang sukacita yang paling dalam—hari ini juga. Bersediakah Anda? —ARS
MENINGGALKAN KEINGINAN EGOIS DAN MENYAMBUT KEHENDAK TUHANADALAH SATU-SATUNYA JALAN MENUJU KEBAHAGIAAN SEJATI