Ribuan tahun yang lalu Allah mewahyukan firman-Nya
dalam bentuk Alkitab supaya umat-Nya bisa membaca dan memahaminya dengan benar sehingga
itu bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan
dan untuk mendidik dalam kebenaran (2 Tim. 3:16). Namun seringkali harapan itu
tidak terwujud secara maksimal karena banyak faktor, salah satunya adalah keterbatasan
pembaca masa kini dalam membaca dan memahami isi Alkitab.
Keterbatasan
muncul karena adanya perbedaan besar antara pembaca dengan isi Alkitab. Adapun
perbedaan itu berupa perbedaan zaman (kitab
termuda dalam Alkitab ditulis +2000 tahun yang lalu), bahasa (Ibrani, Yunani dan sebagian Aram),
budaya (Timur Tengah), cara berpikir,
dan sejumlah besar perbedaan lainnya. Akibatnya sekalipun para nabi dan rasul
menulis Alkitab secara gambalang namun perbedaan-perbedaan itu menjadi tembok
pemisah antara pembaca dengan Alkitab.
Untuk
mengatasi masalah itu maka perlu adanya upaya menerjemahkan atau menafsirkan
Alkitab. Dengan tafsiran yang baik dan benar, maksud sebenarnya dari pesan yang
ada dalam Alkitab bisa sampai dan ditangkap oleh pembaca masa kini.
Pekerjaan
menafsirkan Alkitab ini sendiri memang identik dengan pekerjaan hamba Tuhan,
pendeta dan teolog. Walaupun demikian, jemaat awam bisa juga melakukan hal yang
sama. Bukankah dalam kehidupan sehari-hari sadar atau tidak sadar kita
seringkali melakukan pekerjaan menafsirkan, misalnya ada tulisan yang berbunyi:
“Awas, lobang, 200 meter.” Saat membaca tulisan itu kita akan mencoba
menafsirkannya: Apakah peringatan ini berarti 200 meter lagi ada lobang? Atau Apakah
ini berarti sepanjang 200 meter ada lobang?
Jemaat bisa
terlibat aktif menafsirkan isi Alkitab (walau sederhana) sehingga jemaat tidak
ketergantungan kepada pendeta. Jemaat harus bisa membaca, menafsirkan dan
memahami Alkitabnya. Untuk itu dalam ‘Seri Pengajran: Hermeneutik’ ini selama
beberapa minggu ke depan jemaat akan diajak untuk belajar bagaimana cara
menafsirkan Alkitab secara baik dan benar.